”Karakteristik pengusahaan pertambangan yang high risk, high capital, high technology and long yielding serta tingkat eksternalitas yang tinggi terutama terhadap dampak lingkungan, maka dibutuhkan pengaturan yang jelas dan tegas tentang bentuk dan jenis konstribusi pengusahaan pertambangan kepada masyarakat sekitar usaha pertambangan dan pemerintah daerah.” (Prof. Dr. Ir. H. Abrar saleng, SH.,MH.).
“Tingkat perkembangan dan kemajuan pertambangan disuatu Negara, bukannya terutama ditentukan oleh potensi sumberdaya mineralnya, betapapun juga kayanya. Tetapi lebih banyak bergantung pada kebijakan pemerintah yang berkuasa dalam menciptakan iklim usaha yang diperlukan.” ( DR. (HC) Soetaryo Sigit ).
Setelah beberapa tahun lamanya pembahasan Rancangan Undang-Undang Mineral Dan Batubara, akhirnya pada hari Selasa 16 Desember 2008 disepakatilah rancangan tersebut menjadi Undang – Undang dan telah disahkan menjadi Undang – Undang No.4 tahun 2009 dalam sidang paripurna DPR RI.
Merupakan era baru dalam dunia pertambangan di Indonesia dimana Undang-Undang Mineral Dan Batubara (UU MINERBA) membuka harapan bagi kebangkitan industri pertambangan Indonesia (?). Namun ternyata, oleh beberapa pihak masih menolak pengesahan undang-undang tersebut, hal ini disebabkan terutama oleh pasal peralihan pada undang-undang tersebut dianggap saling bertentangan (ibegenoruk). Pasal yang dimaksud adalah pasal 169 yang mana pada butir (a) menyatakan “Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian”. Namun, butir (b) pada pasal yang sama menyatakan “ketentuan yang tercantum dalam pasal Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara sebagaimana dimaksud pada butir (a) disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara”, dan di dalam “Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara” untuk pasal 169 huruf (b) berarti “semua pasal yang terkandung dalam kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara harus disesuaikan dengan Undang-Undang”. Olehnya itu, beberapa pihak beranggapan bahwa "dua butir pada pasal tersebut saling menganulir". Tanggapan beberapa pengamat hukum dan pertambangan, seharusnya aturan peralihan memberikan kepastian hukum, tapi ketentuan tersebut membingungkan, di satu sisi mengakui dan menghormati kontrak/perjanjian yang sudah ada sampai pada jangka waktu berakhirnya, akan tetapi di sisi lain substansi kontrak/perjanjian disesuaikan dengan UU baru, kecuali berkaitan dengan penerimaan negara. Artinya dengan kata lain ketentuan peralihan memaksa para pihak untuk mengubah kontrak/perjanjian (renegosiasi).
Lain pada itu, Undang-Undang Minerba ini memberlakukan beberapa hal yang dianggap kontroversial lagi seperti perubahan sistem Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan dan kewajiban pembangunan smelter (pengolahan) di dalam negeri serta mekanisme dan sistem perpajakan di bidang pertambangan. Pembangunan smelter ini dipredeksikan oleh beberapa pihak akan mematikan potensi pengusaha lokal, sebab pembangunan smelter membutuhkan dana yang besar sedangkan para pengusaha lokal hanya memiliki modal yang terbatas.
(Afdhal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar